SUAARAPGRI - Harapan jutaan guru honorer untuk mendapatkan kejelasan nasib mulai mendapatkan titik terang. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) resmi mengajukan 250.000 guru honorer di seluruh Indonesia untuk menjadi (PPPK).
Usulan ini dilatarbelakangi dengan belum meratanya guru PNS di Indonesia. Diharapkan dengan pengangkatan ratusan ribu guru honorer sebagai PPPK, kekurangan guru dengan status PNS bisa tertutupi.
“Kami sudah mendata guru honorer yang ada di Indonesia. Setelah melalui proses seleksi di antaranya siapa saja yang sudah lulus pendidikan sarjana strata satu (S-1) dan berusia dibawah 3 tahun, maka terdapat 250.000 guru honorer yang kami nilai layak diajukan sebagai PPPK,” kata Plt Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Hamid Muhammad di Jakarta, kemarin.
Hamid Muhammad menjelaskan, setelah melalui proses seleksi tersebut 250.000 nama yang layak telah diajukan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Saat ini Kemenpan-RB masih melakukan kajian apakah usulan 250.000 guru honorer bisa disetujui.
"Jadi 250.000 orang guru honorer ini masih kita ajukan, tapi Menpan belum memberikan lampu hijau,” terangnya.
Hamid juga menegaskan, bahwa saat ini Kemendikbud memang kekurangan guru yang ber status PNS. Kekurangan ini tidak bisa segera dipenuhi karena terbatasnya formasi PNS yang dialokasikan untuk Kemendikbud.
“Makanya kami mengajukan PPPK untuk mengatasi kekurangan (guru) ini," katanya. Selain mengajukan guru honorer sebagai PPPK, kata Hamid, upaya untuk memenuhi kekurangan guru juga dilakukan dengan penggabungan (merger) sekolah.
Tentu saja penggabungan ini dilakukan di sekolah-sekolah yang belum bisa memenuhi standar pelayanan minimal. Kalaupun tidak dengan merger, akan diubah menjadi satuan pendidikan lain.
“Tetapi kebijakan untuk mendorong merger sekolah ini tidak berlaku di daerah 3T,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu Hamid juga menyinggung tentang tenaga pengawas yang masih terbatas. Menurutnya, pengawas memang anggarannya kecil sekali. Persoalannya bukan di anggaran pelatihan, melainkan banyak guru atau kepala sekolah yang tidak mau jadi pengawas karena tunjangannya kecil. Oleh karena itu, kedepan akan diusulkan tunjangan pengawas akan lebih besar daripada kepala sekolah dan guru.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rasyidi mengapresiasi langkah Kemendikbud yang sudah mendata guru-guru honorer yang potensial diangkat menjadi pegawai kontrak pemerintah.
Sebab, sudah sejak lama pihaknya berharap ada kenaikan status bagi para guru honorer untuk diakui pemerintah. Meski bukan PNS, menjadi PPPK sudah cukup menjadi solusi. Meski demikian, dia tetap menekankan bahwa guru yang masuk data itu harus yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi.
“Jangan (status PPPK) diberikan kepada siluman. Tiba-tiba saja saat pengangkatan ada nama (guru honorer) yang muncul. Jangan sampai ada nepotisme,” pungkasnya.
Unifah juga menjelaskan, dia percaya Kemendikbud tidak akan memanipulasi data tersebut. Dia meminta kepada pemerintah pusat tetap menggunakan data yang sudah diolahnya saja untuk pengajuan guru PPPK. Dia berharap Kemenpan-RB membuka mata dan hatinya untuk segera memproses pengajuan Kemendikbud.
Alasannya, tidak bisa di pungkiri, kekurangan guru hampir mencapai 1 juta dan posisi guru honorer sangat membantu menambal kekurangan itu. Khusus untuk daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. Unifah meminta ada pengecualian.
Pemerintah harus mem prioritaskan untuk mengangkat guru honorer yang sudah lama mengabdi disana. Jika kualitasnya tidak mencukupi, pemerintah daerah yang harus melakukan pendidikan dan pelatihan agar kualitas guru honorer bisa meningkat.
Ketua PB PGRI Sugito menambahkan, organisasinya memang menginginkan perjanjian kontrak PPPK guru honorer dilakukan satu kali saja. Sebab, jika dilakukan setiap tahun guru tersebut hanya akan jadi perasan oknum pemerintah daerah.
“Harus dibuat kontrak satu kali saja dengan masa jabatan per berapa lama. Kalau kontraknya setiap tahun harus diubah, mereka akan diperas oleh oknum dalam proses pengurusannya itu,” tuturnya.
Selain itu, Gito mengatakan, kalau memang untuk menjadi pegawai kontrak itu perlu tes maka lamanya mereka mengabdi sebagai guru honor harus dihargai. Hal ini untuk mempermudah guru honor memenuhi passing grade yang biasanya dipatok di angka 6. (sumber: sindonews.com)
Usulan ini dilatarbelakangi dengan belum meratanya guru PNS di Indonesia. Diharapkan dengan pengangkatan ratusan ribu guru honorer sebagai PPPK, kekurangan guru dengan status PNS bisa tertutupi.
“Kami sudah mendata guru honorer yang ada di Indonesia. Setelah melalui proses seleksi di antaranya siapa saja yang sudah lulus pendidikan sarjana strata satu (S-1) dan berusia dibawah 3 tahun, maka terdapat 250.000 guru honorer yang kami nilai layak diajukan sebagai PPPK,” kata Plt Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Hamid Muhammad di Jakarta, kemarin.
Hamid Muhammad menjelaskan, setelah melalui proses seleksi tersebut 250.000 nama yang layak telah diajukan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Saat ini Kemenpan-RB masih melakukan kajian apakah usulan 250.000 guru honorer bisa disetujui.
"Jadi 250.000 orang guru honorer ini masih kita ajukan, tapi Menpan belum memberikan lampu hijau,” terangnya.
Hamid juga menegaskan, bahwa saat ini Kemendikbud memang kekurangan guru yang ber status PNS. Kekurangan ini tidak bisa segera dipenuhi karena terbatasnya formasi PNS yang dialokasikan untuk Kemendikbud.
“Makanya kami mengajukan PPPK untuk mengatasi kekurangan (guru) ini," katanya. Selain mengajukan guru honorer sebagai PPPK, kata Hamid, upaya untuk memenuhi kekurangan guru juga dilakukan dengan penggabungan (merger) sekolah.
Tentu saja penggabungan ini dilakukan di sekolah-sekolah yang belum bisa memenuhi standar pelayanan minimal. Kalaupun tidak dengan merger, akan diubah menjadi satuan pendidikan lain.
“Tetapi kebijakan untuk mendorong merger sekolah ini tidak berlaku di daerah 3T,” imbuhnya.
Dalam kesempatan itu Hamid juga menyinggung tentang tenaga pengawas yang masih terbatas. Menurutnya, pengawas memang anggarannya kecil sekali. Persoalannya bukan di anggaran pelatihan, melainkan banyak guru atau kepala sekolah yang tidak mau jadi pengawas karena tunjangannya kecil. Oleh karena itu, kedepan akan diusulkan tunjangan pengawas akan lebih besar daripada kepala sekolah dan guru.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rasyidi mengapresiasi langkah Kemendikbud yang sudah mendata guru-guru honorer yang potensial diangkat menjadi pegawai kontrak pemerintah.
Sebab, sudah sejak lama pihaknya berharap ada kenaikan status bagi para guru honorer untuk diakui pemerintah. Meski bukan PNS, menjadi PPPK sudah cukup menjadi solusi. Meski demikian, dia tetap menekankan bahwa guru yang masuk data itu harus yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi.
“Jangan (status PPPK) diberikan kepada siluman. Tiba-tiba saja saat pengangkatan ada nama (guru honorer) yang muncul. Jangan sampai ada nepotisme,” pungkasnya.
Unifah juga menjelaskan, dia percaya Kemendikbud tidak akan memanipulasi data tersebut. Dia meminta kepada pemerintah pusat tetap menggunakan data yang sudah diolahnya saja untuk pengajuan guru PPPK. Dia berharap Kemenpan-RB membuka mata dan hatinya untuk segera memproses pengajuan Kemendikbud.
Alasannya, tidak bisa di pungkiri, kekurangan guru hampir mencapai 1 juta dan posisi guru honorer sangat membantu menambal kekurangan itu. Khusus untuk daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. Unifah meminta ada pengecualian.
Pemerintah harus mem prioritaskan untuk mengangkat guru honorer yang sudah lama mengabdi disana. Jika kualitasnya tidak mencukupi, pemerintah daerah yang harus melakukan pendidikan dan pelatihan agar kualitas guru honorer bisa meningkat.
Ketua PB PGRI Sugito menambahkan, organisasinya memang menginginkan perjanjian kontrak PPPK guru honorer dilakukan satu kali saja. Sebab, jika dilakukan setiap tahun guru tersebut hanya akan jadi perasan oknum pemerintah daerah.
“Harus dibuat kontrak satu kali saja dengan masa jabatan per berapa lama. Kalau kontraknya setiap tahun harus diubah, mereka akan diperas oleh oknum dalam proses pengurusannya itu,” tuturnya.
Selain itu, Gito mengatakan, kalau memang untuk menjadi pegawai kontrak itu perlu tes maka lamanya mereka mengabdi sebagai guru honor harus dihargai. Hal ini untuk mempermudah guru honor memenuhi passing grade yang biasanya dipatok di angka 6. (sumber: sindonews.com)
Comments
Post a Comment