KRIMINALISASI GURU, HUKUMAN APA YANG DIBERIKAN BILA SISWA BOLOS?

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabbarakatuh

Selamat Beraktifitas

Mendikbudku.com - Para guru memohon keadilan ke Mahkamah Konstitusi karena mereka kerap dipidanakan saat sedang mendidik siswa. Sanksi disiplin yang diberikan guru terhadap siswa dianggap sebagai delik pidana di mata hukum, terutama UU Perlindungan Anak.

"Bagaimana pendapat para ahli terhadap penyimpangan disiplin anak di sekolah? Misalnya, membolos, tidak mengerjakan PR, terlambat, merokok, mengganggu kawannya di sekolah, sampai berkelahi. Kira-kira hukuman disiplin apa, tindakan apa, yang harus diberikan kepada anak-anak kategori pelanggaran seperti ini?" kata kuasa hukum para guru, M Asrun.

Hasil gambar untuk hukuman guru yang pantas
Gambar Ilustrasi

Pertanyaan itu disampaikan dalam sidang judicial review UU Perlindungan Anak dan UU Guru dan Dosen di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (12/6) kemarin, sebagaimana dikutip dari website MA, Selasa (13/6/2017).

Asrun lalu menyodorkan fakta pergeseran norma yang ada dalam masyarakat. Pada masa lalu, guru mendisiplinkan siswa yang terlambat datang dengan cara dijemur atau dicubit. Namun terjadi pergeseran norma, yaitu tindakan tersebut bisa dianggap sebagai tindak pidana.

"Bagaimana ahli melihat pergeseran norma seperti ini? Dan apa efek terhadap situasi persekolahan apabila guru tetap diberi hukuman atau dijadikan objek atau subjek pelanggaran pidana terhadap tindakan pendisiplinan itu?" tanya Asrun.

Menjawab pertanyaan itu, ahli pendidikan Udin Winataputra menyatakan proses pendidikan dilakukan dalam waktu yang panjang. Pengubahan perilaku siswa haruslah dilakukan dengan pendekatan, bukan hukuman. Selain itu, butuh keteladanan dari pendidik sendiri.

"Ada pendekatan lain, pendekatan yang great odd indoctrination. Ya, ini misalnya saja diambil ayat suci, kemudian, 'Eh, kamu harus baik, kalau nggak, nanti....' Nah, itu. Itu bisa pendekatan-pendekatan yang great odd. Great odd itu adalah norma baku yang diterima seperti apa adanya. Biasanya kan Pak Guru Agama menggunakan pendekatan, 'Ini, lo, ada ayatnya, kalau kamu melanggar, ini'," Udin menjelaskan.

Sementara itu, menurut ahli hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono, masih banyak dijumpai hukuman yang tidak sesuai dengan hak-hak anak. Sri menyitir The UN General Comment Nomor 8 Tahun 2006. Committee of The Rights of The Child mendefinisikan corporal punishment sebagai bentuk hukum yang diderakan pada fisik anak dengan menyebabkan rasa sakit terhadap anak, walaupun dalam kadar yang ringan. 

"Yang termasuk dalam hukuman fisik di sini antara lain pemukulan dengan tangan, melempar sesuatu, menggunakan sesuatu untuk memukul, mencubit, mencekik, mencekal, menjewer, memaksa anak di dalam satu posisi tertentu. The Committee juga mencatat ada berbagai hukuman yang nonfisik yang lainnya yang juga tidak sesuai dengan hak-hak anak, seperti hukuman yang kata-kata yang bisa merendahkan anak," kata Sri.

Sebagaimana diketahui, sekelompok guru menggugat UU Perlindungan Anak. Mereka merasa kerap dikriminalkan dengan UU tersebut, padahal sedang melaksanakan tugas mengajar dan mendidik siswa. Pangkalnya adalah Pasal 9 ayat 1a UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:

Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik dan/atau pihak lain.

Pemohon meminta UU Perlindungan Anak diberi tafsir yang jelas, tidak multitafsir, sehingga tidak menjadi pasal karet.

Sumber : detik.com

Demikian berita terkini yang dapat mendikbudku.com sampaikan, silakan dishare.

Comments